Jumat, 10 April 2015
Tiada

Suatu hari dalam perjalananku dibawah matahari, aku mendengar sebuah suara. Suara yang mengantarkanku pada diam. Kemudian aku muncul pada suatu yang entah aku harus menyebutnya apa. Tanpa dimensi, tanpa warna, tanpa gerak, tanpa waktu. Apakah ini yang disebut mabuk.

Aku tak menemukan siapa-siapa. Bahkan wujudku pun tak kutemukan. Suara dari diriku pun tak bisa lagi kudengar. Entah ini apa? Sebuah ketiadaan yang mampu kuceritakan.

Disini tak ada angan-angan. Sungguh tak ada apa-apa. Bahkan ia lebih kosong dari sebuah kekosongan. Tak ada yang mampu hidup didalamnya. Karena ia memanglah suatu ketiadaan. Ketiadaan yang yang selalu dicari-cari oleh mereka yang ada.

Lalu ketiadaan itu menjelma dalam keadaan. Hanya saja salah satu keadaan itu, 'manusia' itu terlalu aneh, kejam, baik, semua bercampur saling berkejaran sepanjang hidupnya. Mereka kemudian menciptakan sebuah bahasa yang pada akhirnya mereka sendiri terjebak didalamnya. Tak lagi bisa bebas sekalipun terkadang mereka menganggap diri bebas.

Mereka terus mencari-cari yang membuatnya ada. Tanpa sadar bahwa ia tercipta dari sebuah ketiadaan. Mereka menciptakan kidung pemujaan. Menciptakan tari untuk pemujaan. Saat itu mereka selalu memandang keatas. Mengucapkan entah mantra ataukah doa. Mengira penciptanya itu ada pada atasnya. Mereka selalu melihat keatas. Mengapa tidak menatap kosong saja.

Lalu sebuah lonceng berbunyi. Mereka pun beramai-ramai kesebuah rumah yang disebutnya suci. Melewati burung-burung merpati yang beterbangan di pagi hari. Mereka tersenyum dan saling sapa satu sama lain. Sementara dalam dirinya masing-masing terdapat sebuah api kecil yang bisa membakar dirinya sendiri.
Bayang Pembenci

Tentang hidup yang kuketahui semakin hari semakin membuatku muak. Aku tak percaya bahwa setelah sekian hari aku masih berdiri pada hidupku. Setiap malam aku menangisi hidupku. Kadang pula disiang hari aku menertawakannya. Aku heran pada diriku sendiri. Apa yang terjadi? Aku tak mendapatkan yang kucari dan akan pernah mendapatkannya. Karena yang kucari memanglah ketiadaan.

Terlalu banyak ketakutan yang membuatku semakin benci. Benci pada semua yang ada. Semua yang terlihat. Aku terus mencari. Di balik seluruh kisah hidup. Berjalan dibawah matahari. Menggapai bayanganku sendiri. Yang kutemukan adalah diriku sendiri. Bukan mereka yang katanya adalah teman. Bukan mereka yang katanya saudara. Sungguh mereka hanyalah berdusta jika akan selalu ada. Sama ketika aku tak pernah ada untuk mereka. Ketika dalam kelupaanku, sekali lagi aku tak menemukan siapa-siapa. Mungkin aku terlalu banyak menginginkan ataukah memang aku tak menginginkan apa-apa. Aku semakin tenggelam dalam pikiranku sendiri. Dalam gelapku.

Tak ada Guru yang menuntun. Yang ada adalah waktu yang terus berputar. Sampai detik inipun aku tak pernah melihat waktu. Dimanakah waktu itu? Apa ia Tuhan? Mengapa ia terlalu berkuasa atas hidupku. Ia berjalan semaunya diatas kehidupanku. Bahkan membiarkanku berdiam dalam ketakutan. Ia membawa gembiraku yang pernah ia bentangkan didepanku. Ketakutan itu pula yang membuatku tak lagi takut pada apapun. Aku tak merasakan lagi sakit karena sakit itu sudah sampai pada puncaknya.

Rasanya aku ingin merobek-robek perut waktu itu. Mengambil kembali semua yang pernah dibiarkannya tumbuh kemudian dimakannya kembali. Ia membuat semuanya seperti awan. Selalu menciptakan bentuk-bentuknya. Kadang aneh, kadang indah. Seperti itulah hidup.

Sekali lagi kukatakan saat ini aku tak pernah peduli lagi dengan masa depan. Tentang apa yang akan kutemui selanjutnya. Aku sudah membenci waktu yang seenaknya menciptakan bentuknyta pada hidupku. Yang tak pernah membuat segala sesuatunya abadi. Seakan ia mempermainkanku. Iyah.. mereka semua pergi. Mereka semua tumbuh. Sementara aku? Aku berubah menjadi pembenci.
Setiap malam aku menangisi diriku. Mengingat segala keburukanku, kejahatanku, keegoisanku dan kelemahanku. Ketika kau mencintaiku, maka aku akan mencintai diriku.