Tiada
Suatu hari dalam perjalananku dibawah matahari, aku mendengar sebuah suara. Suara yang mengantarkanku pada diam. Kemudian aku muncul pada suatu yang entah aku harus menyebutnya apa. Tanpa dimensi, tanpa warna, tanpa gerak, tanpa waktu. Apakah ini yang disebut mabuk.
Aku tak menemukan siapa-siapa. Bahkan wujudku pun tak kutemukan. Suara dari diriku pun tak bisa lagi kudengar. Entah ini apa? Sebuah ketiadaan yang mampu kuceritakan.
Disini tak ada angan-angan. Sungguh tak ada apa-apa. Bahkan ia lebih kosong dari sebuah kekosongan. Tak ada yang mampu hidup didalamnya. Karena ia memanglah suatu ketiadaan. Ketiadaan yang yang selalu dicari-cari oleh mereka yang ada.
Lalu ketiadaan itu menjelma dalam keadaan. Hanya saja salah satu keadaan itu, 'manusia' itu terlalu aneh, kejam, baik, semua bercampur saling berkejaran sepanjang hidupnya. Mereka kemudian menciptakan sebuah bahasa yang pada akhirnya mereka sendiri terjebak didalamnya. Tak lagi bisa bebas sekalipun terkadang mereka menganggap diri bebas.
Mereka terus mencari-cari yang membuatnya ada. Tanpa sadar bahwa ia tercipta dari sebuah ketiadaan. Mereka menciptakan kidung pemujaan. Menciptakan tari untuk pemujaan. Saat itu mereka selalu memandang keatas. Mengucapkan entah mantra ataukah doa. Mengira penciptanya itu ada pada atasnya. Mereka selalu melihat keatas. Mengapa tidak menatap kosong saja.
Lalu sebuah lonceng berbunyi. Mereka pun beramai-ramai kesebuah rumah yang disebutnya suci. Melewati burung-burung merpati yang beterbangan di pagi hari. Mereka tersenyum dan saling sapa satu sama lain. Sementara dalam dirinya masing-masing terdapat sebuah api kecil yang bisa membakar dirinya sendiri.
Bayang Pembenci
Tentang hidup yang kuketahui semakin hari semakin membuatku muak. Aku tak percaya bahwa setelah sekian hari aku masih berdiri pada hidupku. Setiap malam aku menangisi hidupku. Kadang pula disiang hari aku menertawakannya. Aku heran pada diriku sendiri. Apa yang terjadi? Aku tak mendapatkan yang kucari dan akan pernah mendapatkannya. Karena yang kucari memanglah ketiadaan.
Terlalu banyak ketakutan yang membuatku semakin benci. Benci pada semua yang ada. Semua yang terlihat. Aku terus mencari. Di balik seluruh kisah hidup. Berjalan dibawah matahari. Menggapai bayanganku sendiri. Yang kutemukan adalah diriku sendiri. Bukan mereka yang katanya adalah teman. Bukan mereka yang katanya saudara. Sungguh mereka hanyalah berdusta jika akan selalu ada. Sama ketika aku tak pernah ada untuk mereka. Ketika dalam kelupaanku, sekali lagi aku tak menemukan siapa-siapa. Mungkin aku terlalu banyak menginginkan ataukah memang aku tak menginginkan apa-apa. Aku semakin tenggelam dalam pikiranku sendiri. Dalam gelapku.
Tak ada Guru yang menuntun. Yang ada adalah waktu yang terus berputar. Sampai detik inipun aku tak pernah melihat waktu. Dimanakah waktu itu? Apa ia Tuhan? Mengapa ia terlalu berkuasa atas hidupku. Ia berjalan semaunya diatas kehidupanku. Bahkan membiarkanku berdiam dalam ketakutan. Ia membawa gembiraku yang pernah ia bentangkan didepanku. Ketakutan itu pula yang membuatku tak lagi takut pada apapun. Aku tak merasakan lagi sakit karena sakit itu sudah sampai pada puncaknya.
Rasanya aku ingin merobek-robek perut waktu itu. Mengambil kembali semua yang pernah dibiarkannya tumbuh kemudian dimakannya kembali. Ia membuat semuanya seperti awan. Selalu menciptakan bentuk-bentuknya. Kadang aneh, kadang indah. Seperti itulah hidup.
Sekali lagi kukatakan saat ini aku tak pernah peduli lagi dengan masa depan. Tentang apa yang akan kutemui selanjutnya. Aku sudah membenci waktu yang seenaknya menciptakan bentuknyta pada hidupku. Yang tak pernah membuat segala sesuatunya abadi. Seakan ia mempermainkanku. Iyah.. mereka semua pergi. Mereka semua tumbuh. Sementara aku? Aku berubah menjadi pembenci.
Tentang hidup yang kuketahui semakin hari semakin membuatku muak. Aku tak percaya bahwa setelah sekian hari aku masih berdiri pada hidupku. Setiap malam aku menangisi hidupku. Kadang pula disiang hari aku menertawakannya. Aku heran pada diriku sendiri. Apa yang terjadi? Aku tak mendapatkan yang kucari dan akan pernah mendapatkannya. Karena yang kucari memanglah ketiadaan.
Terlalu banyak ketakutan yang membuatku semakin benci. Benci pada semua yang ada. Semua yang terlihat. Aku terus mencari. Di balik seluruh kisah hidup. Berjalan dibawah matahari. Menggapai bayanganku sendiri. Yang kutemukan adalah diriku sendiri. Bukan mereka yang katanya adalah teman. Bukan mereka yang katanya saudara. Sungguh mereka hanyalah berdusta jika akan selalu ada. Sama ketika aku tak pernah ada untuk mereka. Ketika dalam kelupaanku, sekali lagi aku tak menemukan siapa-siapa. Mungkin aku terlalu banyak menginginkan ataukah memang aku tak menginginkan apa-apa. Aku semakin tenggelam dalam pikiranku sendiri. Dalam gelapku.
Tak ada Guru yang menuntun. Yang ada adalah waktu yang terus berputar. Sampai detik inipun aku tak pernah melihat waktu. Dimanakah waktu itu? Apa ia Tuhan? Mengapa ia terlalu berkuasa atas hidupku. Ia berjalan semaunya diatas kehidupanku. Bahkan membiarkanku berdiam dalam ketakutan. Ia membawa gembiraku yang pernah ia bentangkan didepanku. Ketakutan itu pula yang membuatku tak lagi takut pada apapun. Aku tak merasakan lagi sakit karena sakit itu sudah sampai pada puncaknya.
Rasanya aku ingin merobek-robek perut waktu itu. Mengambil kembali semua yang pernah dibiarkannya tumbuh kemudian dimakannya kembali. Ia membuat semuanya seperti awan. Selalu menciptakan bentuk-bentuknya. Kadang aneh, kadang indah. Seperti itulah hidup.
Sekali lagi kukatakan saat ini aku tak pernah peduli lagi dengan masa depan. Tentang apa yang akan kutemui selanjutnya. Aku sudah membenci waktu yang seenaknya menciptakan bentuknyta pada hidupku. Yang tak pernah membuat segala sesuatunya abadi. Seakan ia mempermainkanku. Iyah.. mereka semua pergi. Mereka semua tumbuh. Sementara aku? Aku berubah menjadi pembenci.
Aku sangat lelah berada di sini
Ditekan oleh semua ketakutan kekanak-kanakan saya
Dan jika Anda harus meninggalkan
Saya berharap bahwa Anda hanya akan meninggalkan
"Penyebab kehadiran Anda masih belum terpecahkan di sini
Dan itu tidak akan meninggalkan aku sendiri
Luka ini tidak akan tampak untuk menyembuhkan
Nyeri ini terlalu nyata
Ada terlalu banyak waktu tidak bisa menghapus
Ketika Anda menangis aku akan menghapus semua air mata Anda
Ketika Anda akan menjerit aku melawan segala ketakutan Anda
Dan saya memegang tangan Anda melalui semua tahun ini
Tapi Anda masih memiliki
Semua saya
Anda digunakan untuk memikat saya
Dengan hidup beresonansi Anda
Sekarang aku terikat oleh kehidupan Anda tertinggal
Wajahmu itu menghantui
Mimpi saya sekali menyenangkan
Suara Anda itu diusir
Semua kewarasan dalam diriku
Saya sudah berusaha keras untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Anda pergi
Tapi meskipun Anda masih bersama saya
Aku sudah sendirian sepanjang
Ditekan oleh semua ketakutan kekanak-kanakan saya
Dan jika Anda harus meninggalkan
Saya berharap bahwa Anda hanya akan meninggalkan
"Penyebab kehadiran Anda masih belum terpecahkan di sini
Dan itu tidak akan meninggalkan aku sendiri
Luka ini tidak akan tampak untuk menyembuhkan
Nyeri ini terlalu nyata
Ada terlalu banyak waktu tidak bisa menghapus
Ketika Anda menangis aku akan menghapus semua air mata Anda
Ketika Anda akan menjerit aku melawan segala ketakutan Anda
Dan saya memegang tangan Anda melalui semua tahun ini
Tapi Anda masih memiliki
Semua saya
Anda digunakan untuk memikat saya
Dengan hidup beresonansi Anda
Sekarang aku terikat oleh kehidupan Anda tertinggal
Wajahmu itu menghantui
Mimpi saya sekali menyenangkan
Suara Anda itu diusir
Semua kewarasan dalam diriku
Saya sudah berusaha keras untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Anda pergi
Tapi meskipun Anda masih bersama saya
Aku sudah sendirian sepanjang
DenganMu, tenang. Tak terpikir dunia ini. KarenaMu, tenang. Semua khayal
seakan kenyataan. Berlari-lari, di taman mimpiku. Imajinasi telah
menghanyutkan. Mimpiku sempurna, tak seperti orang biasa. KarenaMu,
tenang. Semua khayal seakan kenyataan. Berlari-lari di taman mimpiku.
Imajinasi tak menghanyutkan. Mimpiku sempurna, tak seperti orang biasa.
Aku berbeda. Aku berbeda. Berlari-lari di taman mimpiku. Imajinasi tak
menghanyutkanku. Mimpiku sempurna, tak seperti orang biasa. Pikirkan
indah tentang surga. Seakan-akan di sana. Berkhayal di sana tentang
jiwa. Ku tenang.. (Aku Tenang, 4.20)
Makassar, hari pertama di bulan Januari
Makassar, hari pertama di bulan Januari
Tukang kebun
Suatu hari aku tiba disebuah kebun bunga seorang saudagar kaya. Aku disuruh menunggu disana untuk bertemu seseorang yang katanya guruku, ia adalah kehidupan. Ketika kutanya namanya siapa, guruku hanya bilang, cepatlah.. Bunganya sudah hampir layu.
---
Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam pagar kayu, sudah rapuh dimakan rayap. (Saudagar kaya tapi pagar kebunnya rusak. Mungkin dia sangat sibuk, jadi tak sempat mengurusinya). Kemudian, berjalan barang seratus meter diatas kerikil-kerikil gelap, sedikit tajam. Kakiku merintih. Memang aku tidak memakai alas kaki. Guruku tidak mengizinkan. Ia menyuruhku kesana hanya dengan memakai baju putih yang ia jahit semalam bersama jangkrik. "Pakai ini, lalu kesanalah tanpa membawa apa-apa. Begitu saja," katanya.
Samping kiri-kananku penuh semak. Beberapa tumbuhan makanan ular, dengan buah berwarna cerah tampil menyala, seolah memohonku untuk memakannya. (Kamu pikir aku bodoh, tidak akan tertarik aku pada warnamu), lantas berlalu. Mukanya cemberut mengikutiku dengan sinar matanya sampai aku menghilang diujung semak.
Akhirnya aku tiba diujung sini, tak ada lagi jalan. Lalu aku berfikir, mana tamannya. Aku tak melihat ada taman disini. Lalu aku melihat sebuah celah yang dimana ada cahaya merembes darinya. Aku mendekat, perlahan kubuka, ternyata ada sebuah ruang dibalik semak lebat ini. Luas sekali. Aku sempat tertahan. Ragu-ragu. Heran. Kagum.
Kemudian aku langkahkan kakiku. Pelan. Hijau sekali rumputnya. Begitu banyak warna dari mahkota-mahkota bunga. Krisan putih, kuning. Mawar merah, putih, kuning. Tulip ungu, merah. Lavender ungu. Lyly putih. Matahari kuning ceria. Anggrek ungu, putih, kuning. Dandelion putih, ringan beterbangan. Semua ada disini, saling memandang warna. Mengapa mereka bisa tumbuh bersamaan di tanah yang sama, dan dalam musim yang sama.
Ada pohon besar, tersangkut ayunan disalah satu dahan besarnya. Aku ingat waktu kecil suka sekali main ayunan. Pohon apa yah. Entah, tapi dia tak berbuah, hanya berbunga. Bunganya warna ungu kecil-kecil. Berguguran disekitaran pohon. Seperti salju. Harum.
Ada juga bangku kecil tak jauh dari pohon tadi. Desainnya berlekuk seperti racun nyamuk bakar disisi kiri dan kanan. Terbuat dari besi. Kemudian aku menuju ke bangku tadi. Kira-kira muat barang tiga orang dewasa saja.
Di ujung sana ada seorang lelaki tua. Memakai baju putih juga, berselendang pelangi. Sedang meraba-raba bunga. Tepat di gerombolan bunga putih. Mawar. Ia sedang merangkai mawar putih menjadi bandana. Melingkar. Ia menengadah. Sepertinya sudah sadar akan kehadiranku. Tapi ia tak memandangku. Aku senyum padanya, namun tak dibalasnya.
Ia menujuku membawa bandana tadi. Berjalan aneh. Sampai didepanku ia tersenyum. Kemudian tangannya meraba udara. ya ampun, ternyata dia buta. Dia berusaha membaca posisiku, mencari letak kepalaku. Hingga akhirnya bisa menyentuh rambutku dengan jari-jarinya. Kulihat tangannya luka, mengeluarkan darah. Mungkin karena mencabuti duri mawar sewaktu merangkai tadi. Ia memasang bandana tadi dikepalaku.
Apa kau pemilik kebun ini? Apa kau kau yang disebut guruku sang kehidupan itu. Hhhh... Ternyata kau buta. Lalu bagaimana kau bisa menciptakan keindahan ini. Andai engkau bisa melihat keindahan ini. Sayang kau buta. Ia pun tersenyum, sepertinya ia membaca suara pikiranku. Sungguh aku tak tahu membedakan antara pikiran dan hati.
Suatu hari aku tiba disebuah kebun bunga seorang saudagar kaya. Aku disuruh menunggu disana untuk bertemu seseorang yang katanya guruku, ia adalah kehidupan. Ketika kutanya namanya siapa, guruku hanya bilang, cepatlah.. Bunganya sudah hampir layu.
---
Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam pagar kayu, sudah rapuh dimakan rayap. (Saudagar kaya tapi pagar kebunnya rusak. Mungkin dia sangat sibuk, jadi tak sempat mengurusinya). Kemudian, berjalan barang seratus meter diatas kerikil-kerikil gelap, sedikit tajam. Kakiku merintih. Memang aku tidak memakai alas kaki. Guruku tidak mengizinkan. Ia menyuruhku kesana hanya dengan memakai baju putih yang ia jahit semalam bersama jangkrik. "Pakai ini, lalu kesanalah tanpa membawa apa-apa. Begitu saja," katanya.
Samping kiri-kananku penuh semak. Beberapa tumbuhan makanan ular, dengan buah berwarna cerah tampil menyala, seolah memohonku untuk memakannya. (Kamu pikir aku bodoh, tidak akan tertarik aku pada warnamu), lantas berlalu. Mukanya cemberut mengikutiku dengan sinar matanya sampai aku menghilang diujung semak.
Akhirnya aku tiba diujung sini, tak ada lagi jalan. Lalu aku berfikir, mana tamannya. Aku tak melihat ada taman disini. Lalu aku melihat sebuah celah yang dimana ada cahaya merembes darinya. Aku mendekat, perlahan kubuka, ternyata ada sebuah ruang dibalik semak lebat ini. Luas sekali. Aku sempat tertahan. Ragu-ragu. Heran. Kagum.
Kemudian aku langkahkan kakiku. Pelan. Hijau sekali rumputnya. Begitu banyak warna dari mahkota-mahkota bunga. Krisan putih, kuning. Mawar merah, putih, kuning. Tulip ungu, merah. Lavender ungu. Lyly putih. Matahari kuning ceria. Anggrek ungu, putih, kuning. Dandelion putih, ringan beterbangan. Semua ada disini, saling memandang warna. Mengapa mereka bisa tumbuh bersamaan di tanah yang sama, dan dalam musim yang sama.
Ada pohon besar, tersangkut ayunan disalah satu dahan besarnya. Aku ingat waktu kecil suka sekali main ayunan. Pohon apa yah. Entah, tapi dia tak berbuah, hanya berbunga. Bunganya warna ungu kecil-kecil. Berguguran disekitaran pohon. Seperti salju. Harum.
Ada juga bangku kecil tak jauh dari pohon tadi. Desainnya berlekuk seperti racun nyamuk bakar disisi kiri dan kanan. Terbuat dari besi. Kemudian aku menuju ke bangku tadi. Kira-kira muat barang tiga orang dewasa saja.
Di ujung sana ada seorang lelaki tua. Memakai baju putih juga, berselendang pelangi. Sedang meraba-raba bunga. Tepat di gerombolan bunga putih. Mawar. Ia sedang merangkai mawar putih menjadi bandana. Melingkar. Ia menengadah. Sepertinya sudah sadar akan kehadiranku. Tapi ia tak memandangku. Aku senyum padanya, namun tak dibalasnya.
Ia menujuku membawa bandana tadi. Berjalan aneh. Sampai didepanku ia tersenyum. Kemudian tangannya meraba udara. ya ampun, ternyata dia buta. Dia berusaha membaca posisiku, mencari letak kepalaku. Hingga akhirnya bisa menyentuh rambutku dengan jari-jarinya. Kulihat tangannya luka, mengeluarkan darah. Mungkin karena mencabuti duri mawar sewaktu merangkai tadi. Ia memasang bandana tadi dikepalaku.
Apa kau pemilik kebun ini? Apa kau kau yang disebut guruku sang kehidupan itu. Hhhh... Ternyata kau buta. Lalu bagaimana kau bisa menciptakan keindahan ini. Andai engkau bisa melihat keindahan ini. Sayang kau buta. Ia pun tersenyum, sepertinya ia membaca suara pikiranku. Sungguh aku tak tahu membedakan antara pikiran dan hati.
Makassar, Hari kedelapan belas di bulan Mei, 2014