Jumat, 02 Januari 2015
Tukang kebun

Suatu hari aku tiba disebuah kebun bunga seorang saudagar kaya. Aku disuruh menunggu disana untuk bertemu seseorang yang katanya guruku, ia adalah kehidupan. Ketika kutanya namanya siapa, guruku hanya bilang, cepatlah.. Bunganya sudah hampir layu.
---
Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam pagar kayu, sudah rapuh dimakan rayap. (Saudagar kaya tapi pagar kebunnya rusak. Mungkin dia sangat sibuk, jadi tak sempat mengurusinya). Kemudian, berjalan barang seratus meter diatas kerikil-kerikil gelap, sedikit tajam. Kakiku merintih. Memang aku tidak memakai alas kaki. Guruku tidak mengizinkan. Ia menyuruhku kesana hanya dengan memakai baju putih yang ia jahit semalam bersama jangkrik. "Pakai ini, lalu kesanalah tanpa membawa apa-apa. Begitu saja," katanya.

Samping kiri-kananku penuh semak. Beberapa tumbuhan makanan ular, dengan buah berwarna cerah tampil menyala, seolah memohonku untuk memakannya. (Kamu pikir aku bodoh, tidak akan tertarik aku pada warnamu), lantas berlalu. Mukanya cemberut mengikutiku dengan sinar matanya sampai aku menghilang diujung semak.

Akhirnya aku tiba diujung sini, tak ada lagi jalan. Lalu aku berfikir, mana tamannya. Aku tak melihat ada taman disini. Lalu aku melihat sebuah celah yang dimana ada cahaya merembes darinya. Aku mendekat, perlahan kubuka, ternyata ada sebuah ruang dibalik semak lebat ini. Luas sekali. Aku sempat tertahan. Ragu-ragu. Heran. Kagum.

Kemudian aku langkahkan kakiku. Pelan. Hijau sekali rumputnya. Begitu banyak warna dari mahkota-mahkota bunga. Krisan putih, kuning. Mawar merah, putih, kuning. Tulip ungu, merah. Lavender ungu. Lyly putih. Matahari kuning ceria. Anggrek ungu, putih, kuning. Dandelion putih, ringan beterbangan. Semua ada disini, saling memandang warna. Mengapa mereka bisa tumbuh bersamaan di tanah yang sama, dan dalam musim yang sama.

Ada pohon besar, tersangkut ayunan disalah satu dahan besarnya. Aku ingat waktu kecil suka sekali main ayunan. Pohon apa yah. Entah, tapi dia tak berbuah, hanya berbunga. Bunganya warna ungu kecil-kecil. Berguguran disekitaran pohon. Seperti salju. Harum.

Ada juga bangku kecil tak jauh dari pohon tadi. Desainnya berlekuk seperti racun nyamuk bakar disisi kiri dan kanan. Terbuat dari besi. Kemudian aku menuju ke bangku tadi. Kira-kira muat barang tiga orang dewasa saja.

Di ujung sana ada seorang lelaki tua. Memakai baju putih juga, berselendang pelangi. Sedang meraba-raba bunga. Tepat di gerombolan bunga putih. Mawar. Ia sedang merangkai mawar putih menjadi bandana. Melingkar. Ia menengadah. Sepertinya sudah sadar akan kehadiranku. Tapi ia tak memandangku. Aku senyum padanya, namun tak dibalasnya.

Ia menujuku membawa bandana tadi. Berjalan aneh. Sampai didepanku ia tersenyum. Kemudian tangannya meraba udara. ya ampun, ternyata dia buta. Dia berusaha membaca posisiku, mencari letak kepalaku. Hingga akhirnya bisa menyentuh rambutku dengan jari-jarinya. Kulihat tangannya luka, mengeluarkan darah. Mungkin karena mencabuti duri mawar sewaktu merangkai tadi. Ia memasang bandana tadi dikepalaku.

Apa kau pemilik kebun ini? Apa kau kau yang disebut guruku sang kehidupan itu. Hhhh... Ternyata kau buta. Lalu bagaimana kau bisa menciptakan keindahan ini. Andai engkau bisa melihat keindahan ini. Sayang kau buta. Ia pun tersenyum, sepertinya ia membaca suara pikiranku. Sungguh aku tak tahu membedakan antara pikiran dan hati.
 
Makassar, Hari kedelapan belas di bulan Mei, 2014

0 komentar:

Posting Komentar