Aku memiliki sesuatu yang hilang
Kau tahu... aku pernah memiliki banyak hal dalam hidupku. Aku selalu benci dengan perubahan. Kenapa semua orang selalu punya ambisi untuk berubah.
Bukankah karena sifat manusia itulah semua menjadi semakin menyakitkan. Kau tahu hal yang paling menyakitkan didunia ini? Kau benar. Memiliki kehilangan.
Aku melihat selalu ada perubahan. Dulunya lahan itu adalah sawah, sekarang beubah menjadi rumah bertingkat, toko atau rumah toko bertingkat. Aku khawatir, kedepan kita akan memiliki rumah yang bagus dan besar, hanya saja tak punya makanan. Tanah tempat menumbuhkan makanan itu satu persatu itu diduduki oleh badan rumah yang gemuk. Aku pun suka rumah gemuk itu. Apa aku juga akan melakukan hal yang sama saat dewasa nanti?
Dulu di rumahku hanya ada satu telefon rumah. Yang setiap berbunyi aku dan adikku berebut untuk mengangkatnya. Sekarang kami masing-masing sudah memiliki handphone masing-masing. Bahkan handphone pertamaku kian berubah dari waktu kewaktu. Dari yang pertama hanya bisa mengirim pesan teks, menelfon, dengar musik dan kamera. Kini sudah lebih canggih. Ada begitu banyak aplikasi. Bahkan aku sendiri kerempongan menjalankan kesemuanya. Kamera lebih-lebih lagi. Bahkan jerawatku yang sedang ranum-ranumnya sudah bisa disamarkannya. Benar-benar suatu kepalsuan. Anehnya lagi, sejak memiliki handphone super canggih, aku bisa berhubungan lebih dekat dengan banyak orang yang berjauhan sekalipun. Hanya saja aku kerap lupa kalau ada orang yang sedang duduk disampingku. Aku tenggelam dalam dunia baruku yang hanya selebar beberapa inci tersebut.
Dulu saat ingin membeli baju, aku akan bangun pagi-pagi, berdandan serapi mungkin, kemudian menunggu ayah memboncengku. Berjalan berkeliling kios untuk membeli baju. Ayah dulu suka begitu. Suka melihat anaknya berpakaian rapi. Baju adalah salah satu hal yang paling suka dibeli ayah untuk anaknya setelah makanan. Sekarang, aku tak memiliki lagi hal itu. Ayah tak bisa lagi menemaniku membeli baju. Aku sendiri pun sudah dewasa. Dan sekarang, membeli baju tak mesti lagi susah-susah berkeliling pasar. Hanya perlu mengeluarkan tenaga seujung jari, dan transaksi dilakukan, lagi-lagi dilayar yang ukurannya hanya beberapa inci. Padahal hal yang paling menyenangkan didunia ini adalah ketika ayah tersenyum dengan begitu manisnya menyuruhku memilih baju dan sesekali ia mengukur baju yang pas buatku. Aku ingat baju terakhir yang dibelikan ayah. Warnanya merah muda. Masih kusimpan sampai sekarang.
Aku menatap keluar jendela.
Kau tahu, apa yang sedang kutunggu.
Aku menunggu kehilanganku yang selanjutnya.
Makassar, hari keenam belas di bulan Desember, 2014.
0 komentar:
Posting Komentar