Senin, 15 Desember 2014
Aku memiliki sesuatu yang hilang


Kau tahu... aku pernah memiliki banyak hal dalam hidupku. Aku selalu benci dengan perubahan. Kenapa semua orang selalu punya ambisi untuk berubah.
Bukankah karena sifat manusia itulah semua menjadi semakin menyakitkan. Kau tahu hal yang paling menyakitkan didunia ini? Kau benar. Memiliki kehilangan.

Aku melihat selalu ada perubahan. Dulunya lahan itu adalah sawah, sekarang beubah menjadi rumah bertingkat, toko atau rumah toko bertingkat. Aku khawatir, kedepan kita akan memiliki rumah yang bagus dan besar, hanya saja tak punya makanan. Tanah tempat menumbuhkan makanan itu satu persatu itu diduduki oleh badan rumah yang gemuk. Aku pun suka rumah gemuk itu. Apa aku juga akan melakukan hal yang sama saat dewasa nanti?

Dulu di rumahku hanya ada satu telefon rumah. Yang setiap berbunyi aku dan adikku berebut untuk mengangkatnya. Sekarang kami masing-masing sudah memiliki handphone masing-masing. Bahkan handphone pertamaku kian berubah dari waktu kewaktu. Dari yang pertama hanya bisa mengirim pesan teks, menelfon, dengar musik dan kamera. Kini sudah lebih canggih. Ada begitu banyak aplikasi. Bahkan aku sendiri kerempongan menjalankan kesemuanya. Kamera lebih-lebih lagi. Bahkan jerawatku yang sedang ranum-ranumnya sudah bisa disamarkannya. Benar-benar suatu kepalsuan. Anehnya lagi, sejak memiliki handphone super canggih, aku bisa berhubungan lebih dekat dengan banyak orang yang berjauhan sekalipun. Hanya saja aku kerap lupa kalau ada orang yang sedang duduk disampingku. Aku tenggelam dalam dunia baruku yang hanya selebar beberapa inci tersebut.

Dulu saat ingin membeli baju, aku akan bangun pagi-pagi, berdandan serapi mungkin, kemudian menunggu ayah memboncengku. Berjalan berkeliling kios untuk membeli baju. Ayah dulu suka begitu. Suka melihat anaknya berpakaian rapi. Baju adalah salah satu hal yang paling suka dibeli ayah untuk anaknya setelah makanan. Sekarang, aku tak memiliki lagi hal itu. Ayah tak bisa lagi menemaniku membeli baju. Aku sendiri pun sudah dewasa. Dan sekarang, membeli baju tak mesti lagi susah-susah berkeliling pasar. Hanya perlu mengeluarkan tenaga seujung jari, dan transaksi dilakukan, lagi-lagi dilayar yang ukurannya hanya beberapa inci. Padahal hal yang paling menyenangkan didunia ini adalah ketika ayah tersenyum dengan begitu manisnya menyuruhku memilih baju dan sesekali ia mengukur baju yang pas buatku. Aku ingat baju terakhir yang dibelikan ayah. Warnanya merah muda. Masih kusimpan sampai sekarang.

Aku menatap keluar jendela.
Kau tahu, apa yang sedang kutunggu.
Aku menunggu kehilanganku yang selanjutnya.

Makassar, hari keenam belas di bulan Desember, 2014.
Kamis, 11 Desember 2014
Tentang Sebuah Sapaan

Masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Malam ini aku selalu menanti sapaan seorang lelaki manis itu.Didunia ini terlalu banyak tentang. Kali ini akan akan bercerita tentang seorang lelaki.

Kau tahu, aku terlalu sering jatuh cinta dalam hidupku. Tak apalah, setiap rasaku yang jatuh itulah yang selalu menyemangatiku setiap hari. Meski sebenarnya yang kubutuhkan sebenarnya adalah diriku sendiri. Seberapa banyak orang pun yang singgah dalam perjalanan hidupku. Dan seberapa sering aku bertamu dalam perjalanan hidup mereka.

Setiap mereka yang pernah hadir memiliki kisahnya masing-masing. Mereka hadir dengan caranya sendiri. Kemungkinan aku akan menuliskan masing-masing dari mereka. Olehnya itu aku tak berani bilang kalau akau hanya mencintai satu orang saja dalam hidupku. Aku sendiri pun juga tak pernah percaya bila mereka mengatakan bahwa akulah satu-satunya orang dalam hidupnya. Hal itulah yang tak akan pernah kupercaya.

Tentang lelaki si penyapa ini. Banyak juga yang sering menyapa selain dia, hanya saja dia salah satu penyapa yang menurutku sangat manis dibanding penyapa lainnya.

Dia adalah seorang lelaki. Umurnya sepuluh tahun lebih tua dari umurku. Ia menjalani masa mudanya ketika aku masih berlari-lari telanjang di bawah hujan. Sekarang aku sudah memasuki masa mudaku, dan dia pun masih memancarkan semangat mudanya. Wajahnya masih saja menampakkan kemanisan.

Dia suka musik. Dan hobinya bermain drum. Aku tahu sedikit banyak hal dari dia. Dari pengamatanku setiap hari.

Bentuk tubuhnya cukup besar bila aku berdampingan dengannya. Wajah yang dihiasi dengan bibir manis. Sering aku memperhatikan betapa manisnya dia. Cara berbicaranya yang lembut meski jiwanya adalah seorang pemberontak. Si petualang yang suka alam bebas.

Salah satu hobinya adalah memotret. Ia pernah menceritakan hobinya itu saat kami kebetulan bertemu di lift. Kebetulan ia membawa kamera, dan aku berbasa basi menanyakan tentang mengapa ia membawa kamera, dan darimana ia sebelumnya.

Aku dan dia hampir setiap hari bertemu. Kami hanya berbicara seperlunya saja.Sekedar say hay, atau berbicara ringan. Atau ketika berpapasan atau dihadapkan pada hal yang tak sengaja. Meski kadang dalam diamku aku selalu melamati tubuhnya dari kacamataku. Ya Tuhan... aku menyukai si pemilik tubuh itu.

Aku bahkan tak pernah menyadari waktu bahkan ketika malam sudah cukup larutnya. Aku suka berada satu ruangan dengannya. Melihat bentuk nyatanya itu memberiku sedikit semangat. Melihatnya mendengarkan lagu sambil memukul-mukul meja seakan ia sedang bermain drum. Atau sedikit menyanyikan lagu. Suaranya bagus. Sedikit serak.

Beberapa malam lalu aku disapanya. Tak seperti didunia nyata, sapaanya kali ini membawa kami terbawa dalam sebuah percakapan yang cukup panjang. Bercerita tentang banyak hal. Dan aku selalu suka saat seperti itu. Menyenangkan bisa mendapat sapaan darinya.

Apakah sapaan itu hanya akan berhenti dibeberapa malam terakhir ini? Sepertinya aku menunggu sapaan darinya.

Kau tahu kalau ini sebenarnya sangat rapuh. Selalu merasa sendiri.  Lalu apa yang kuharapkan darinya? Secangkir kesegaran dari kemanisannya mampu membalut sedikit demi sedikit darah yang terus mengalir dari kesakitanku.

Makassar, hari kedua belas di bulan Desember, 2014.
Minggu, 07 Desember 2014
Hujanlah Terus Desember

Hujan terus mengguyur akhir pekan di minggu pertama bulan Desember. Hanya saja aku belum menemukan pelangi semenjak Desember menampakkan dirinya pada hari pertamanya. Dan lagu itu masih terus saja berputar disetiap pagiku. Dan bunga kembang sepatu itu masih saja basah.

Tentang rindu yang masih saja betah bergelayut dalam kelopak mataku. Memaksa membuka otakku memutar memorinya. Kadang aku menikmati rindu ini. Kadang pula membuatku tersiksa. Suatu hal yang terlalu indah, dan menyakitkan saat aku ingin kembali bermain pada waktu itu.

Memilik kenangan indah dalam hidup itu bukanlah suatu hal yang baik. Karena kita akan ditagih oleh rindu yang menyesakkan dikemudian hari. Menggerogoti daging otakku.

Waktu pula yang telah memakan hal indah dalam hidupku. Seolah aku ingin merobek perut sang waktu. Biar seluruh isi perutnya keluar dan aku bisa mengambil kembali kenanganku yang sudah dikunyahnya. Tapi kurasa tak akan utuh lagi seperti dulu.

Kau tahu, bayangan itu terus saja berlari-lari didepanku. Tidak berwarna. Hanya sebatas hitam putih. Tapi jalan ceritanya kuingat persis. Tentang pertemuan kita. Tentang kisah perjalanan kita yang juga dipertemukan pada musim mangga yang disambut musim hujan. 

Apakah kau juga tahu mengapa aku suka memutar lagu itu? Desember. Sebuah nama bulan. Lagu yangmenceritakan tentang iklim  Itu karena banyak kenanganku yang tersimpan dalam lagu itu.

Hai orang-orang maya yang tak pernah bosan berkeliaran didepan mataku. Dulu kita pernah bersama, menjalankan hari-hari kita. Kau dan aku saling bercerita melakukan banyak hal. Aroma deterjen, bentuk bajuku dan bajumu, masih kuhapal. Motifnya, ukurannya, dimana kita membelinya. Aku masih hapal lemari dua pintu kepunyaanmu dan lemari coklatku. Lemari yang tak pernah pisah dari meja belajarku.

Mesti diingat bahwa aku kini tak lagi berada di kamarku yang dulu.

Aku kemudian mengingat sebuah rumah dan orang-orang yang dulu berkeliaran dirumah itu. Menonton tv, menyapu dan belajar. Kamarku terletak di ruang tamu. Pintunya berhadapan langsung dengan ruang tamu.

 Aku memiliki bunga bougenville didepan rumah. Sengaja dibiarkan lama tak disiram supaya bunganya menjadi semakin banyak. Bila musim hujan, ia tak mengeluarkan bunga.

Sudahilah. Berhenti mengingat kenangan. Kembali ke hujan.

Aku keluar dan menikmati tetesan demi tetesan air langit. Aku menyelesaikan rinduku yang basah hari ini.

Makassar, hari delapan di Bulan Desember, 2014.


Kamis, 04 Desember 2014
Hanya Sebatas Rintik Hujan

Hari ini hujan hanya rintik-rintik. Itupun hanya sebentar. Hanya saja awan mendung sepanjang hari. Aku masih saja betah bermalas-malasan. Enggan keluar rumah. Padahal, begitu aku membuka pintu, seabrek rutinitas sudah menjemputku. Menarik tanganku lalu membawaku larut dalam kesibukan.

Aku jadi merasa berbeda. Tak seperti orang lain yang memiliki waktu 24 jam. Apa yang kurasakan seharian seolah aku hanya diberi jatah 10 jam sehari. Aku jadi rindu tidur siang dan mandi sore. Menonton film sambil memakan makanan ringan dan berbincang-bincang dengan teman sebayaku sudah menjadi hal langka dalam keseharianku.

Apa yang aku cari? 

Hari kelima, di Bulan Desember 2014.


Rabu, 03 Desember 2014

Bunga Berbicara dengan Ikan

Bunga di vas kamarku belum sepenuhnya layu. Akan tetap kubiarkan berada di atas meja sampai seluruh kelopaknya menghitam. Ikan di kamarku juga masih berenang. Satu kesalahanku menaruhnya di akuarium bundar. Kata temanku, ikanku jenisnya pemalu dan sangat mudah stres. Menaruhnya dalam akuarium bundar sama saja dengan membunuhnya secara perlahan.

Biarkan sajalah dulu. Biarkan ia berteman dengan bunga yang kuletakkan berdampingan dengan akuarium itu. Mungkin mereka berdua butuh bicara.

Katanya temanku lagi, memotong tangkai bunga sama saja dengan  memotong jari manusia. Dan bunganya akan sekarat didalam vas. Seharusnya ia tetap berada di pohonnya dan menghisap mineral dari dalam tanah. Sampai matahari terus berputar dan akhirnya pohonnya tak bisa lagi menatap matahari.

Makassar, hari keempat di bulan Desember, 2014.

Hujan Sudah Mulai Turun

Hari ini, hujan sudah turun di kota Makassar. Aku suka itu. Pagi, ketika aku membuka pintu kamar, ada hawa dingin yang langsung menerobos masuk. Kubiarkan mataku terpejam. Kuhirup udara yang basah pada pagi itu.Setitik dua titik air jatuh dari atap. Daun mangga masih menyisakan air diatasnya.

Aku bergegas kembali masuk. Mengambil selimut dan menutup mata. Kuputar sebuah lagu. Lagu yang tidak pernah bosan kuputar sejak dua tahun lalu sejak pertama kali aku mendengar lagu ini.

Kutekan tombol play pada handphoneku. Dan....

Selalu ada, yang bernyanyi dan berelegi 
di balik awan hitaaam...
semoga ada, yang menerangi sisi gelap ini
menanti seperti pelangi, 
setia menunggu hujan reda
aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desem...ber...
di bulan Desembeeeer..
Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan luka
meretas duka sampai hujan memulihkan luka...

Kuputar terus berharap mataku kembali tertutup. Tapi enggan, meski selimutku sudah sangat hangat.
 Aku kembali mengingat banyak kenangan. Ya Tuhan... aku benci hal yang satu ini. Aku benci harus menyiksa diriku dengan perasaan rindu. Rindu yang selalu menendang-nendang dinding otakku. Dan itu menyakitkan.

Tak tahan berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Perasaan apa ini. Serasa aku ingin membeli lemari penyimpan kenangan. Kulipat semua kenanganku. Lalu kususun rapi hingga semua menumpuk memenuhi lemari. Terakhir aku akan mengunci lemari itu kemudian kuncinya kutenggelamkan dilaut.

Sudahilah. Aku berontak dengan diriku sendiri. Kuambil handuk, dan masuk kekamar mandi. Menyiram kepalaku dengan air yang pagi ini terasa sangat dingin. Biarlah, supaya kekacauan dalam otakku ini ikut membeku.

Hari ini aku ada janji dengan dosenku. Kubuka kembali pintu kamarku, dan gerimis masih setia menungguku diluar sana. Baiklah.. Mari bersalaman dengan tubuhku. Basahi saja aku.



Makassar, hari keempat di bulan Desember, 2014.
Senin, 01 Desember 2014
Berharap Hujan

Hari pertama di Bulan Desember. Aku sangat bersemangat. Sudah lama memang aku merindukan bulan ini. Bulan yang awannya sering dilukis kelabu. Hanya saja hari ini aku belum melihat hujan. Hanya sedikit mendung. Tak apalah meski aku berharap lebih hujan akan turun.

Aku pun tak mengerti mengapa aku sangat menyukai kemendungan. Apa karena perasaanku yang selalu kelam. Aku tak tahu. Rasa cintaku pada Desember mengalir sendiri. Seperti air yang mencari jalannya.

Hanya saja, aku selalu merasa sendiri. 

Saat itu aku akan berjalan sendiri. Tanpa tujuan. Setelah lelah aku akan menuju ke suatu tempat. Kuanggap bisa menenangkanku. Di pantai? Bukan. Aku tak suka pantai. Sungai? Aku suka, tapi disini tak ada sungai. Lalu kemana aku singgah? Aku punya tempat di salah satu sudut kota ini.

Aku tak butuh orang lain. Aku hanya membutuhkan diriku sendiri. Disini aku akan bermain dengan diriku sendiri. Dan mengumpat sang waktu yang datang mengintip.  Aku bertanya, mengapa waktu yang selalu terburu-buru. Tak bisakah kau berpihak padaku saja.

Aku terlalu banyak merindukan masa indahku. Selalu menyimpan rasa sakit terhadap waktu yang setiap hari mengambil umurku. Membuatku menjadi semakin tua. Dan menjadi lebih tua itu adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Tak ada mainan dan tak ada teman.

Kau tahu kenapa aku suka Desember? Karena Desember selalu hujan. Tentu. Dan saat Desemberlah aku bisa menangis lebih banyak. Tak akan  ada yang tahu kalau aku sedang menangis saat aku membiarkan air hujan membasahiku. Membasahi mataku yang basah.

Hari ini aku berharap hujan. Hanya saja mendung masih betah bermain. Mungkin ia lupa kalau ada hujan dibaliknya.

Makassar, Hari Kedua di Bulan Desember, 2014.